Info | IIX : Gerbang Tol Internet Indonesia

Jalan-jalan nyari solusi untuk ide-ide gila aku eh nemu ginian…

Konsep local loop bisa disamakan dengan hula hoop, yaitu adanya perputaran di satu area tertentu, tanpa pernah meninggalkan lingkaran. Indonesia Internet Exchange [IIX] adalah hula lop tersebut. Bukan sebuah mainan, IIX adalah “hula hoop” yang mampu menghemat devisa serta mempercepat koneksi Internet dalam negeri.

Dimulai dengan jaringan

Sejarah internet di Indonesia berakar pada Local Area Network [LAN] di Universitas Indonesia dan Institut Teknologi Bandung. Namun, meski berasal dari kalangan akademis, internet menjadi booming berkat masuknya para pemain industri yang melihat potensi meraup keuntungan dari “mainan” yang saat itu (1990-an), masih relatif baru.

Meski pemain bisnis mulai melirik internet, tetapi tidak ada modal besar di belakangnya. Justru pebisnis memiliki prinsip dasar berbisnis, yaitu mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan modal sekecil mungkin.

Lain halnya di Amerika Serikat. Internet di negeri adidaya itu berkembang dengan sokongan dana besar dari kalangan militer yang notabene memiliki kepentingan besar dalam hal telekomunikasi. “Tanpa dukungan dan bantuan dana dari militer atau pemerintah, hubungan ke luar negeri dilakukan melalui sambungan langsung internasional lewat telepon, bukan melalui dedicated connection yang mahal” tutur Johar Alam, praktisi internet dan salah satu pionir perkembangan IIX, dalam dokumen IIX history di situs www.iix.net.id

Indo.net adalah perusahaan yang nekat memulai bisnis penyelenggara jasa internet (Internet Service Provider/ISP) di Indonesia pada tahun 1994. Hal ini diikuti oleh pemerintah yang mulai mengatur perizinan ISP pada tahun 1995. Dibukanya keran izin ISP ini berlangsung selama kurang lebih 12 tahun. Namun pada tahun 2007, pemerintah memutuskan untuk menutup perizinan ISP baru dengan alasan ISP yang ada saat ini berkonsentrasi di wilayah jabotabek dan banyak yang tidak beroperasional secara optimal.

Sekitar tahun 1996-1997, jumlah ISP di Indonesia semakin banyak hingga kurang lebih ada 35 ISP yang aktif beroperasi. Masalah baru pun muncul yang pada gilirannya memicu kelahiran IIX.

Dimulai dengan jaringan

Pada era awal-awal pertumbuhan ISP di Indonesia, para pengusaha ISP boleh dibilang melakukan buang-buang devisa keluar negeri. Pasalnya, kebanyakan komunikasi internet dilakukan melalui jalur luar negeri yang saat itu disediakan oleh Indosat lewat kabel bawah laut. Komunikasi ke luar negeri itu juga dibicarakan juga meskipun yang diajak “bicara” adalah teman dalam negeri.

IIX

Ilustrasinya begini, misalkan pada waktu itu ada 2 ISP (A dan B). ISP A terhubung ke jalur utama Internet dunia (biasa disebut tier-1) melalui Global One (Amerika Serikat) sedangkan ISP B terhubung lewat A-Bone (Jepang). Jika pengguna ISP A ingin mengirimkan email atau melakukan chatting dengan temannya yang menggunakan ISP B, ia harus melewati jalur ke Amerika Serikat terlebih dahulu, baru ke Jepang, lalu kembali lagi ke Amerika Serikat, dan balik lagi ke Indonesia.

Jelas saja hal itu membebani biaya operasional para ISP. Pasalnya, hubungan lokal dilakukan dengan menggunakan jalur SLI. Tingginya biaya operasional ini menyebabkan para ISP berlomba-lomba menggaet pelanggan untuk menutupi biaya. Namun sayangnya, banyaknya pelanggan tidak diikuti dengan peningkatan kapasitas sambungan internasional. Akhirnya, internet pun menjadi lambat.

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) yang dibentuk pada tahun 1996 pun mengenali adanya masalah ini. Pembangunan IIX menjadi salah satu program utama APJII di masa awalnya berdiri (program utama lainnya adalah pembenahan sistem registrasi nama domain .id). “IIX pertama mampu menangani delapan koneksi serial yang masing-masing berkapasitas 2 Mbps,” ujar Johar. Node itu juga memiliki 4 port ethernet 10 Mbps yang masing-masinig tersambung ke hub 16 port. Johar mengatakan, rata-rata setiap ISP pada masa itu menghemat US$70.000 dengan adanya IIX. Bahkan, sebuah ISP, menurut Johar mampu menghemat rata-rata US$250.000/bulannya dalam waktu delapan bulan setelah terhubung ke IIX.

APJII pada perkembangannya memiliki tiga node IIX di Jakarta. IIX-JK1 awalnya berada di Gedung Telkom di Jl. Gatot Subroto. Namun, tahun 2005 dipindah ke Gedung Arthatel di Kawasan Soedirman Sentral Business District, IIX-JK2 berada di Gedung Cyber, Kuningan, dan IIX-JK3 di Gedung Plaza Kuningan.

IIX yang paling populer saat ini boleh jadi adalah IIX-JK2 yang terletak di Gedung Cyber. Sambungan tersebut berlokasi di kantor IDC, sebuah penyedia layanan data center.

Kisruh IIX 2005

Selama kurun waktu sembilan tahun (1996-2005), hampir tidak ada perkembangan besar pada IIX. Baru pada tahun 2005, terjadi perubahan kecil, seperti pemindahan lokasi IIX-JK1 dari Gedung Telkom ke Gedung Arthatel.

Kejadian yang paling dramatis saat itu adalah terjadinya kisruh seputar IIX-JK2. Senin sore, 12 September 2005, kondisi Internet Indonesia di permukaan nampak biasa saja. Pengakses website-website mereka sukai, email dan pesan chatting. Namun di balik permukaan, terjadi sesuatu yang tidak disadari oleh kebanyakan pengguna internet Indonesia. Entah disengaja atau tidak, arus listrik ke IIX-JK2 mengalami pemadaman.

Tanpa bermaksud mengungkit-ungkit lagi persoalan yang telah lewat, kenyataan insiden pematian IIX itu sempat membuat suasana tegang dikalangan aktivis internet Indonesia. Terutama, tentunya, pengurus APJII yang ketika itu di pimpin oleh Teddy Purwadi.

Akibat kisruh tersebut, pejabat pemerintah dari Departemen Komunikasi dan Informatika sempat diajak ikut turun tangan. Dirjen Postel, Basuki Yusuf Iskandar, dan Dirjen Aplikasi Telematika, Cahyana Ahmadjayadi dikabarkan ikut berunding dengan pengelola IIX-JK2, yaitu APJII dan PT IDC agar IIX dinyalakan kembali.

Akibat dari kisruh tersebut, APJII dan PT IDC sempat bersitegang. Kekisruhan berakhir seiring selesainya Musyawarah Nasional APJII yang digelar pada tahun yang sama (2005). Hasil musyawarah tersebut adalah APJII berencana untuk memungut biaya ekstra bagi anggotanya yang terhubung ke IIX. Dari sisi APJII, rencana tersebut dimaksudkan sebagai upaya membenahi IIX agar bisa dikelola secara profesional. Pengurus APJII ketika itu berharap pungutan yang dikenakan bisa membentuk sub-lembaga khusus pengelola IIX yang profesional.

Namun, disisi lain, langkah tersebut dianggap sebagai komersialisasi IIX. Padahal, IIX sejak awalnya merupakan sebuah upaya gotong-royong yang tidak mengedepankan aspek komersial. Bahkan sempat beredar rumor bahwa APJII sebenarnya berencana membuat sebuah “PT IIX”, sebutan sinis untuk menyebut upaya mencari keuntungan dari IIX.

Kubu penentang APJII ini juga beranggapan, beban pungutan IIX itu pada akhirnya akan jatuh ke tarif eceran di tingkat konsumen. Artinya, koneksi Internet berpotensi untuk semakin mahal. Padahal, misi awal dari IIX adalah untuk menurunkan biaya operasional ISP agar tarif Internet bisa ditekan.

Free IIX, OpenIXP, NICE


IIX2

Logikanya, ketika pemadaman IIX itu terjadi, koneksi dalam negeri menjadi tersendat (terutama karena koneksi dari ISP yang berbeda harus melalui jalur luar negeri). Koneksi dalam negeri yang biasanya berputar dalam hula hoop IIX-JK2 tidak lagi terjadi. Dengan begitu, koneksi yang biasanya tersambung lokal pun akan dilemparkan ke luar negeri.

Namun anehnya, tak ada yang tampak dari dampak dimatikannya IIX tersebut. Pada kenyataannya, lambatnya akses ke luar negeri tidak terjadi kecuali untuk beberapa ISP saja. Hal ini ternyata disebabkan adanya sebuah “barang baru” yang hadir menggantikan IIX-JK2. Ada yang menyebutnya Free IIX, ada juga yang menyebutnya Open Internet Exchange Point (OpenIXP) atau ada juga sebutan NICE (National Interconnection Exchange). Pada intinya, “barangnya” sama, sebuah hula hoop serupa IIX.

OpenIXP merupakan buntut kisruh IIX tersebut. Sebagian besar ISP yang tersambung ke IIX-JK2, pada kejadian pemadaman listrik, ternyata beralih ke Open IXP. Hal itu lebih merupakan keputusan praktis kebanyakan ISP, dan bukan politis. Dasar pemikirannya adalah, daripada tersambung ke IIX-JK2 yang akan dipindah lokasinya (dan dibuat berbayar) lebih baik tersambung ke OpenIXP yang relatif tidak pindah tempat.

Buntut lain dari kisruhnya IIX adalah berubahnya kepengurusan APJII melalui ajang Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub). Sosok Teddy Purwadi digantikan oleh Sylvia Sumarlin. Anak mantan menteri Keuangan J.B. Sumarlin ini merupakan pimpinan ISP D-Net (pada kepengurusan sebelumnya menjabat Bendahara APJII).

Sampai ke akarnya

Sejarah yang agak buram itu sebaiknya kita lupakan. Sekarang kita kembali ke misi IIX yang sebenarnya untuk menghemat devisa. Selain IIX, APJII juga memperkuat Internet Indonesia dengan melakukan mirroring Root Server F dan I.

Sebelum melihat dampak dari mirroring ini, mari kita pahami dulu apa kegunaan Root Server. Root Server merupakan salah satu “akar” internet. Di server tersebut terdapat data dasar yang digunakan untuk mengubah alamat protokol Internet (yang terdiri dari angka-angka) menjadi alamat yang mudah dimengerti (yang berakhiran dotcom, misalnya).

Server akar ini hanya terdapat beberapa di dunia, yaitu A hingga I. Dahulu, pada saat kebanyakan root masih berada di Amerika Serikat, pernah ada serangan cyber yang melumpuhkan beberapa root server tersebut. Meski tak sampai menimbulkan bencana internet, kejadian itu memicu para pengelola root server untuk membuat mirror alias salinan dari root server yang sudah ada. Mirror ini akan berfungsi sebagai cadangan jika server utama mengalami gangguan.

Bagi Indonesia, adanya mirror root server didalam negeri artinya hubungan ke “akar” dari Internet cukup dilakukan didalam negeri dan tidak menggunakan Bandwidth luar negeri. Dampak adanya mirror tersebut memang tidak se-bombastis hula hoop IIX. Namun, semangatnya serupa dengan IIX, menghemat sebisa mungkin penggunaan bandwidth luar negeri.

IIX Daerah

Selain IIX yang terdapat di Jakarta, komunitas ISP di Indonesia juga telah membangun local loop di daerah-daerah. Semangat dari setiap exchange point tersebut juga mirip dengan IIX di Jakarta, menghemat biaya sambungan telepon.

Exchange point didaerah dibutuhkan agar hubungan sesama ISP diwilayah tersebut tidak perlu melalui hubungan interlokal ke Jakarta. Tentunya hal ini akan menghemat biaya operasional ISP lokal, terutama yang bermodal relatif kecil. Dua wilayah telah memiliki IIX sendiri, yaitu DIY (Jogja IX atau IIX-YO1) dan Surabaya (IIX-J11). Ke depannya akan dibangun exchange point di wilayah lainnya. Nantinya, setiap exchange point akan saling dihubungkan sehingga ISP lokal benar-benar cukup hanya tersambung ke satu titik pertukaran di wilayah masing-masing tanpa perlu membuat sambungan sendiri ke Jakarta.

IIX3

Melihat ke depan

Saat ini terdapat dua program masa depan yang akan membantu upaya-upaya yang telah dilakukan melalui IIX. Program tersebut adalah Palapa Ring dan infrastruktur SLI Bakrie Telecom. Bakrie Telecom, operator telekomunikasi yang dikenal dengan merek esia dan WiFone, merupakan pemenang tender SLI yang diadakan Dirjen postel pada tahun 2007. Bukan sekedar memberikan lisensi untuk mengadakan SLI, kemenangan Bakrie ini diikuti dengan sejumlah kewajiban membangun infrastruktur.

Salah satu yang wajib untuk dibangun adalah Internet Exchange. Belum dipastikan diwilayah mana Bakrie akan membangun titik tersebut. Namun dipastikan hal ini akan memperkuat upaya local loop yang telah dirintis oleh IIX.

Program “Palapa Ring”, yang sedianya akan mulai dibangun pada 2008, akan memberikan sambungan broadband di seantero wilayah Nusantara. Program ini merupakan pembangunan jalur serat optik melingkari Indonesia yang akan berfungsi sebagai backbone Internet. Palapa Ring akan mulai di wilayah timur Indonesia. Hal itu dilakukan karena pembangunan di wilayah barat cukup pesat. Sebuah konsorsium pun telah digaet untuk menggarap pembangunan Palapa Ring tahap awal. Jika terwujud, program Palapa Ring diharapkan bisa menjadi sebuah local loop yang nasional. Pada saatnya nanti, setiap ISP di wilayah manapun di Indonesia tak perlu lagi membuat sendiri sambungan ke Jakarta atau bahkan ke luar negeri, tetapi cukup tersambung ke backbone Palapa Ring untuk mendapatkan kucuran bandwidth yang bisa diecerkan ke rumah-rumah.

Meski demikian, agaknya masih panjang jalan Indonesia untuk mendapatkan koneksi internet yang murah. Bahkan setelah semua program pengayaan infrastruktur itu selesai, masih ada PR besar yang harus diselesaikan. PR tersebut terkait perilaku pengguna akses internet Indonesia yang masih gemar mengakses website luar negeri. Selama akses internet masih didominasi oleh akses ke website asing, selama itu pula beban biaya ISP akan mahal. Selama beban biaya masih tinggi, harapan tarif murah agaknya masih agak sulit diraih.

Disadur oleh : Akangage

Diambil dari : Majalah CHIP Edisi May 2008

Sumber :Klik Disini

6 Responses to “Info | IIX : Gerbang Tol Internet Indonesia”

  1. Nice infonya, menambah wawasan ane gan

  2. Excellent!!! salute buat penulis. Sukses Selalu.!

  3. Terus gimana bang, apa program yang bang maksud saat sekarang sudah ada?
    Terus gimana bang, apa saya bisa daftar neh jadi perusahaan mitra pelayanan provider internet tuk sharing ke rumah2? Makasih Bang dari makassar neh.

  4. thank’s banget, tulisan nya menambah wawasan saya…..

  5. sQVXXn Excellent article, I will take note. Many thanks for the story!

Leave a reply to mand41l1nc Cancel reply